Home
>
News
>
Publication
>
Dharsono Hartono: Melindungi Alam Lewat Berbisnis
Dharsono Hartono: Melindungi Alam Lewat Berbisnis
Tuesday, 11 May 2021

Upaya pengurangan emisi karbon tidak lagi berdasarkan prinsip filantropis untuk mengatasi perubahan iklim, tetapi juga dapat dilakukan sejalan dengan prinsip bisnis. Jika selama ini perusahaan-perusahaan penghasil emisi merasa terbebani dalam investasi untuk lingkungan, kini perusahaan-perusahaan tersebut dapat memperoleh imbalan atas investasi mereka tersebut lewat perdagangan kredit karbon. 

Salah satu proyek besar di Indonesia yang berupaya merestorasi lahan gabut dan pada prosesnya menghasilkan banyak kredit karbon adalah Katingan Mentaya Project yang diinisiasi oleh PT Rimba Makmur Utama. Selengkapnya dapat Anda simak dalam bincang-bincang ICDX dengan CEO Katingan Mentaya Project, Dharsono Hartono berikut. 

Bagaimana Anda memulai Katingan Mentaya Project?

Dulu tahun 2007, saya ke Bali untuk menghadiri Palm Oil Conference dan ada teman kuliah saya, Arif Rahmat, yang mengajak saya untuk coba bisnis kelapa sawit. Lalu, saya bertemu dengan Pak Rezal Kusumaatmadja, yang sekarang menjadi partner bisnis saya. Dia menantang saya untuk mencoba bisnis baru: kita bisa menjaga lingkungan, mensejahterakan masyarakat, dan kita bisa mendapat keuntungan. Saya pikir, “Ah, yang benar aja!”

Tapi, saya setuju dengan beliau dan ingin mendengar idenya. Tahun 2007 itu, memang agak awam bagi orang-orang untuk mendengar konsep bisnis menjaga lingkungan, memberikan kesejahteraan pada masyarakat, dan bias mendapat nilai tambah (profit) kepada perusahaan. Rezal pada saat itu melihat, lahan gambut memiliki nilai yang jauh lebih tinggi apabila dikonservasi. Dia juga pernah menulis di sebuah media, “Land dictates the rule, communities are the gatekeeper.”

Jadi, menurut beliau, cara kita mengelola lahan harus dilihat dari bagaimana lahan tersebut paling efektif digunakan. Kita tahu bahwa lahan gambut paling baik dikonservasi daripada dibuka untuk kelapa sawit. 

Kita melakukan konservasi berdasarkan business model. Kadang, konservasi lebih condong ke filantropi dan restorasi dilakukan oleh teman-teman LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Padahal, konservasi bisa menjadi suatu bisnis. Selama 13 tahun ini, kami melihat Katingan Mentaya Project sebagai proyek terbesar di dunia. Jumlah emisi yang kita hasilkan tiap tahun bisa mencegah perubahan iklim, mensejahterakan masyarakat, dan perusahaan pun jadi untung.


PT Rimba Makmur Utama telah mengembangkan proyek besar, Katingan Mentaya Project, sejak awal untuk restorasi hutan lahan gambut seluas 157.875 hektar di Kalimantan Tengah. Apa yang membedakan proyek ini dari proyek restorasi lahan gambut lainnya? Apa pencapaian yang paling Anda banggakan dari proyek ini?

Kami memulai Proyek Katingan Mentaya dengan pertimbangan bahwa kami bisa menyelamatkan kawasan hutan rawa gambut yang luas di Indonesia sambil menawarkan sumber pendapatan berkelanjutan kepada masyarakat lokal dan mengatasi perubahan iklim global; sekaligus menunjukkan bahwa proyek ini merupakan model bisnis yang solid. Kami tidak hanya fokus pada konservasi atau menjaga stok karbon, dimana kami percaya pendekatan inilah yang membuat proyek kami berbeda. 

Perusahaan kami menerapkan model penggunaan lahan berkelanjutan (sustainable land use) melalui pengurangan deforestasi dan degradasi lahan, mempromosikan konservasi, meningkatkan integritas ekologi, dan menumbuhkan peluang ekonomi bagi masyarakat di Kalimantan Tengah. Secara bersamaan, kami juga ingin memulihkan keutuhan hidrologi dan fungsi ekosistem lahan gambut dengan cara membasahi dan menghutankan kembali sebagian wilayah proyek yang telah dikeringkan dan ditebang sebelum proyek kami berlangsung pada tahun 2010.

Proyek kami adalah bukti nyata bahwa pendanaan proyek karbon dapat memerangi perubahan iklim, dimana proyek ini sendiri menghasilkan rata-rata 7,5 juta kredit karbon bersertifikat emas tiga kali lipat setiap tahun; atau setara dengan mengurangi 2 juta mobil dari jalan raya setiap tahun.

Kami secara aktif merestorasi vegetasi di area yang terdegradasi parah pada semua tipe ekosistem, yang meliputi sekitar 9.299 hektar. Kami menggunakan spesies tumbuhan lokal dengan menerapkan teknik Silvikultur Restorasi Ekosistem, yang memberikan manfaat bagi satwa liar lokal serta manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Penerima manfaat dari proyek kami meliputi 34 desa.

Selama 13 tahun berjalan, kami juga menyadari adanya perubahan paradigma. Dulu di tahun 2007, orang bilang, “That’s great, you’re doing a noble job.” Tapi tidak ada keinginan untuk membiayai ‘pekerjaan mulia’ tersebut. Tanpa sertifiaksi, orang tidak mau beli karena yang kita perdagangkan tidak ada physical goods-nya. 


Seperti halnya komoditas lain, seperti kopi, tentu kualitasnya berbeda-beda. Bagaimana cara menghasilkan atau apa yang menentukan kualitas kredit karbon?

Kita harus bisa memilah karbon kredit dari sektornya dulu, karena yang kita jual sebenarnya jasa lingkungan. Makanya, ada karbon kredit dari land-use project seperti kami, atau nature-based solution, dan ada juga karbon kredit dari geothermal (renewable energy), misalnya. 

Masalahnya, karbon kredit yang berasal dari renewable energy itu lucu. Awal-awal tahun 2000-an, renewable energy menjadi komoditi yang paling dicari karena waktu itu masih ada Kyoto Protocol, sehingga ada compliance market yang mengatakan bahwa komoditi ini mempunyai nilai. 

Seiring berjalannya waktu, terutam 10 tahun terakhir ini, kita semakin menuju ke sustainability. Hal ini membuat banyak proyek renewable energy yang dianggap tidak lagi memiliki nilai tambah (additionality). 

Kenapa? Karena sejak awal, konsep nilai tambah kredit karbon dari renewable energy sistemnya seperti ini: ketka kita tidak lagi punya bahan bakar fosil, maka kita akan menghasilkan energi dari angin (wind power), dan kita pun mendapat kredit karbon. Kalau di masa sekarang, kita memang sudah harus memakai wind power. Jadi, sudah tidak ada nilai tambah lagi karena kehidupan kita sudah berjalan menuju renewable future. 

Land-use project seperti kami dulu dilhat sulit, tapi selama 10 tahun terakhir ini, orang justru melirik sektor land-use karena sudah terbukti kita bisa mencegah perubahan iklim lewat pengurangan emisi. Bahkan, kita juga memberikan dampak positif pada masyarakat.

Sekarang, orang mulai lari ke karbon kredit yang berhubungan dengan alam. Dalam sektor alam pun, tiap project developer punya cara yang berbeda-beda. Hanya saja, jika kita ingin melihat keseriusan sebuah proyek, kita perlu lihat bagaimana proyek itu mengikuti, mendapatkan sertifikasi, distribusi mereka, dan bagaimana mereka berkontribusi pada komunitas lokal. Do they have in-house capability to manage this? 

Kami bersyukur karena dulu saya menjadi satu-satunya pegawai selama 6 tahun pertama proyek ini. Sekarang, kami sudah memiliki karyawan full-time lebih dari 200 orang, dan part-time hampir 800 orang per tahun. Dan 80% karyawan dari PT RMU itu masyarakat lokal. We have to build from locals, learn from local, and help the locals. 

Human capital ini penting, tapi kadang-kadang orang tidak mau susah dengan harus merubah perilaku atau pandangan masyarakat lokal. Contohnya selama 2014-2015, saya dan Pak Rezal sudah mengunjungi 34 desa. Saya ingat sekali pada 2014, saya mengkampanyekan tidak membakar dan tidak memakai bahan kimia untuk pertanian kepada 200-300 orang. 

Coba tebak berapa orang yang tertarik pada program kami? Hanya dua. Kami bilang, kami akan bantu kalian bercocok tanam yang baik, tidak membakar lahan, dan hasilnya bisa kami pakai, bahkan bisa kami beli. Bisa dibayangkan, merubah perilaku seperti itu tidak gampang.

Things like this have to be solved and as a project developer, Anda harus bersabar. Selama 13 tahun terakhir kami belajar banyak sekali dari masyarakat. Bagaimana kita bisa bekerja sama dan membangun social capital ini. Menurut saya, inilah cara baru dalam berbisnis. Banyak dari kita yang meremehkan hal-hal seperti ini, padahal tanpa dukungan masyarakat lokal, akan menjadi potensi konflik di masa depan. 


Proyek ini menghasilkan kredit karbon yang dijual ke perusahaan-perusahaan seperti Shell, Volkswagen dan NP Paribas. Boleh Anda jelaskan secara singkat bagaimana kredit-kredit ini dihasilkan, dan mengapa perusahaan-perusahaan tersebut membelinya?

Kelangsungan finansial bagi bisnis seperti Katingan Mentaya Project bukan hanya penting untuk keberlanjutan bisnis jangka panjang atau untuk komunitas tertentu, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa karbon, baik emisi yang dihindari atau sekuestrasi, dapat menjadi komoditas yang layak dan berharga. Hal ini akan menjadi sangat penting dalam beberapa dekade mendatang jika kita ingin menghindari bencana iklim.

Secara sederhana, klien kami membeli kredit karbon untuk mengimbangi emisi mereka di pasar dalam negeri–berdasarkan prinsip kompensasi yang berlaku secara global, sehingga emisi di Eropa dapat diimbangi dengan pengurangan karbon di Indonesia. Berdasarkan stok karbon kami, yang diverifikasi oleh VCS, kami mengeluarkan jumlah kredit karbon yang setara untuk pembeli kami; satu Verified Carbon Unit (VCU) mewakili satu ton CO2. Kredit ini digunakan untuk mengimbangi emisi klien kami secara sukarela. Perusahaan-perusahaan yang menjadi klien kami tersebut melakukan hal ini sebab konsumen mereka percaya pada perlindungan alam, keanekaragaman hayati, dan manfaat bagi masyarakat inklusif.


Proyek ini sudah dimulai sejak 2007 dan Anda mendapat Ecosystem Restoration Concession pertama Anda pada Oktober 2013, atau empat tahun lebih lama dari yang Anda harapkan. Seberapa penting kredit karbon dalam membantu menarik pendanaan untuk melaksanakan proyek ini?

Proyek ini telah berjalan sekitar satu dekade hingga saat ini dan perjalanan kami cukup panjang untuk mencapai tahap seperti sekarang dengan pendapatan dari penjualan karbon kami. Pendapatan ini telah memungkinkan kami untuk berinvestasi kembali di seluruh proyek untuk meningkatkan manfaat yang diberikannya.

Pasar kredit karbon memiliki fungsi penting dalam menyalurkan dana langsung dari pembeli dan pasar luar negeri ke proyek. Sebaliknya, pasar kredit karbon juga memungkinkan kami menyediakan kredit karbon untuk pasar tersebut. Tanpa perdagangan karbon, pertukaran kredit dan penyeimbangan karbon global tidak akan ada. 


Katingan Mentaya Project telah mengurangi CO2 yang setara dengan pengurangan gas rumah kaca sebanyak 12.69 juta ton CO2 dalam 5 tahun hingga Oktober 2015, tetapi Anda baru menerbitkan Verified Carbon Units (VCUs) pertama Anda pada Mei 2017 untuk sekitar 4.34 juta ton CO2 yang dihasilkan selama periode November 2015 hingga akhir 2016. Apakah Anda menjual kredit karbon pada periode 2010-2015? Apa yang berubah hingga Anda bisa mengeluarkan VCU? Dimana Anda mendaftarkan kredit karbon Anda, bagaimana Anda menjualnya, dan berapa kisaran harga yang Anda realisasikan? Apakah Anda lanjut menggunakan mekanisme yang sama setelahnya?

Penjualan besar pertama kami terjadi pada tahun 2017. Kami tidak menjual kredit karbon sebelum 2017. Kami menghadapi berbagai tantangan dalam pemasaran, terutama terkait pemahaman publik akan peran pencegahan degradasi lahan gambut dan hutan dalam mengurangi emisi karbon, serta peran kami dalam mengembangkan mata pencaharian alternatif dan berkelanjutan bagi masyarakat lokal. Kami mendaftarkan VCU kami melalui program Verra’s Verified Carbon Standard (VCS).

Terkait kisaran harga, kami menyadari bahwa harga bervariasi karena adanya berbagai faktor ukuran dan vintage years (tahun dimana pengurangan emisi karbon terjadi). Laporan terbaru menemukan bahwa harga di pasar karbon sukarela (voluntary) umumnya berkisar antara $3 hingga $10 per ton, tergantung pada ukuran dan tahun. Kami mulai melihat harga karbon bergerak ke kisaran yang lebih tinggi.


Secara global, harga yang dibayarkan untuk VCU bervariasi, mulai dari di bawah USD $1 hingga lbeih dari USD $100 per ton CO2, mengingat juga di masa lalu harga karbon cukup fluktuatif. Proyek Anda merupakan penjual VCU terbesar dari proyek restorasi hutan. Apa yang Anda lakukan untuk menemukan harga terbaik bagi VCU Anda, dan apa yang Anda lakukan untuk melindungi VCU Anda dari risiko penurunan harga karbon di masa mendatang?

Salah satu cara untuk melindungi nilai (hedge) dari harga karbon yang fluktuatif adalah dengan membeli asuransi. Mengingat pasar karbon yang masih baru dan kecil, kami belum bisa menemukan perusahaan untuk menjual polis asuransi ini. Tetapi, kami yakin dalam beberapa tahun ke depan, kami sudah dapat melakukan lindung nilai atas risiko penetapan harga ini.

Partner Anda, Permian Global, sekarang menjual VCU Anda di pasar karbon yang bersifat sukarela. Dalam Perjanjian Paris, ada kemungkinan bagi pasar kredit karbon teregulasi internasional, jika pemerintah setuju untuk menjalankan kerja sama bilateral atau kerja sama multilateral PBB. Apakah dukungan pemerintah Indonesia terhadap pasar VCU yang terbuka bagi publik akan membantu proyek serupa dengan proyek Anda?

Tentu saja. Dukungan tersebut akan membantu memperluas pasar kami dan mendorong perusahaan yang mengeluarkan CO2 berlebih untuk mempertimbangkan kembali model bisnis mereka. Saat mereka mempertimbangkannya, kami sudah siap untuk membantu mereka bertransisi ke model bisnis rendah karbon. Perjanjian Paris juga akan membuka pasar internasional besar lainnya, terutama di Asia.



Member of
© Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX)
Join Our Monthly Newsletter
Follow Us
Contact Us
Midpoint Place, 22nd Floor, K.H. Fachrudin Street No. 26, Tanah Abang, Jakarta Pusat
+62 21 3002 7788